Industri kakao Indonesia sangat memprihatinkan.Sebagai produsen kakao terbesar ketiga dunia belum bisa dimanfaatkan. Kualitas kakao yang diekspor tidak bagus, karena tidak difermentasi. Disatu sisi regulasinya tidak mendukung. Hal ini disampaikan oleh Asosiasi Kakao Indonesia dalam diskusi pelaku industri kakao, Februari lalu di Jakarta. Produksi biji kakao Indonesia yang kini mencapai 500.000 ton per tahun, dan 87 persen diantaranya dihasilkan oleh perkebunan rakyat, namun proses pengolahannya baru mencapai 150.000 ton per tahun, dan masih harus impor sekitar 300.000 ton biji kakao fermentasi dan 24.000 ton bubuk kakao. Sedang Malaysia dengan produksi biji kakao hanya 60.000 ton per tahun, dapat memproduksi kakao olahan hingga 300.000 ton. Belum bisa dinikmatinya hasil kakao Indonesia, selain belum bisa meningkatkan nilai tambah, juga karena faktor regulasi. Sebagai perbandingan, di Malaysia dan China, regulasi perpajakan dibuat bukan sekadar untuk mendapatkan pemasukan negara, tetapi dalam kerangka mendorong pertumbuhan industri pengolahan kakao dalam negerinya. Di Indonesia beberapa peraturan dan pungutan justru menjadi disinsentif karena mengakibatkan impor makanan menjadi lebih murah dari pada memproduksi sendiri. Sebagai contoh di Indonesia bea masuk kakao olahan hanya dikenai lima persen, sementara Malaysia sebesar 25 persen. Kelemahan kakao Indonesia di pasaran karena tidak difermentasi. Padahal kakao yang difermentasi harganya lebih mahal. Di Malaysia, biji kakao dari Indonesia difermentasi dan diolah menjadi bubuk kakao harganya menjadi 600 – 1000 dollar AS per ton. Sementara kakao mentah beli dari Indonesia cuma 200 dollar AS per ton.
Untuk memenuhi kualitas ekspor biji kakao yang difermentasi, pemerintah dalam hal ini Departemen Perindustrian meminta Menteri Pertanian mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk biji kakao. Hal ini selain untuk meningkatkan pendapatan petani, juga untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kakao dalam negeri. Sedang untuk memperbaiki pola transaksi, sehingga memungkinkan adanya jaminan harga yang lebih baik, pemerintah memberlakukan jaminan kontrak jual beli kakao dengan penerapan sertifikat bagi para pengumpul, pialang, dan pedagang kakao nasional. Disisi lain, pemerintah akan menerapkan regulasi nasional untuk perdagangan biji kakao yang memenuhi standar kualitas SNI. Ketiadaan sertifikat membuat para pengumpul, makelar dan pedagang kakao melakukan transaksi dalam bentuk apa adanya. Padahal di Malaysia jual beli kakao tidak dibolehkan jika pembeli tidak mempunyai ser tifikat. Dengan sistem tersebut, secara otomatis petani akan meningkatkan kualitas hasil panennya.
Untuk standar kakao internasional diprakarsai oleh Food and Drugs Administration (FDA) dari USA. Selanjutnya standar ini diadopsi oleh hampir semua negara penghasil kakao. Standar biji kakao yang diperdagangkan di pasar internasional, pertama harus difermentasi dengan kadar air 7 persen. Kedua, biji kakao harus bebas dari serangga hidup. Ketiga, biji kakao yang dikemas mutunya harus seragam, tidak tercampur dengan kulit dan benda-benda asing lainnya. Menurut data AIKI, volume ekspor biji kakao Indonesia ke AS sekitar 100.000 ton per tahun, namun kualitasnya masih rendah, bahkan sampai berjamur karena proses pengeringannya tidak benar. Untuk produk kakao olahan tidak mengalami hambatan karena kualitasnya sudah memenuhi standar internasional. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar